Kebetulan nemu artikel bagus dari Republika. tentang penerbitan buku di zaman kekhalifahan Islam. Silahkan dinikmati :
Kota Baghdad
pada masa Abbasiyah berbentuk bundar.
REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Heri Ruslan
Proses penulisan buku di era kekhalifahan boleh dibilang sangat unik. Pada era
itu, sarjana dan ulama menjadikan masjid sebagai tempat untuk menyusun buku.
Sebelum sebuah buku diterbitkan, seorang penulis atau ilmuwan harus
mempresentasikan isi bukunya kepada publik.
‘’Mereka melakukannya di masjid dengan cara dibaca atau didiktekan,” papar
Ziauddin Sardar. Paparan penulis atau ilmuwan itu lalu didengarkan masyarakat
umum dan dikopi oleh seorang warraqin, yang bekerja sebagai penulis yang
menyalin berbagai manuskrip yang dipesan para pelanggannya.
Seiring semakin tingginya angka produksi buku, umat Islam pada masa itu mulai
mendirikan perpustakaan. Lagi-lagi, masjid menjadi tempat untuk menampung buku.
Menurut J Pedersen dalam Arabic Book, pada masa itu masyarakat Muslim
menyerahkan koleksi bukunya ke masjid untuk disimpan di dar al-kutub
(perpustakaan).
Masyarakat di hampir seluruh dunia Islam – mulai dari Atlantik hingga ke Teluk
Persia – masjid dijadikan tempat yang aman untuk menyimpan buku. “Buku-buku itu
dihadiahkan dan banyak ilmuwan yang mewariskan perpustkaan pribadinya kepada
masjid untuk menjamin buku mereka tetap terpelihara,” ungkap R Mackensen dalam
"Background of the History of Muslim Libraries".
Tak heran, jika koleksi buku yang dimiliki perpustakaan masjid begitu melimpah.
Di Allepo, Suriah, misalnya, perpustakaan masjid tertua bernama Sufiya
mengoleksi buku hampir 10 ribu volume. Buku-buku itu merupakan pemberian dari
penguasa kota Aleppo yang termasyhur, Pangeran Sayf al-Dawla. Gerakan wakaf
buku ke perpustakaan masjid yang dipelopori pemimpin itu juga diikuti oleh para
ilmuwan dan intelektual.
O Pinto dalam bukunya bertajuk The Libraries of the Arabs during the time of
the Abbasids,' in Islamic Culture. Menurutnya, hampir di setiap masjid dan
lembaga pendidikan yang tersebar di dunia Islam, pada masa itu, dipastikan
memiliki perpustakaan dengan jumlah buku yang melimpah.
Menurut Pinto, di Baghdad terdapat hampir 36 perpusatakaan umum – sebelum kota
metropolis intelektual itu diluluh-lantakan pasukan tentara Mongol. Di pusat
pemerintahan Abbasiyah itu juga terdapat ratusan pedagang buku dan penerbitan.
Dalam buku berjudul The Rabic Book karya Yaqut Mu'jam yang diterjemahkan G
French disebutkan, di kota Merw – wilayah Persia Timur – pada tahun 1216 hingga
12 18 M terdapat 10 perpustakaan umum. Dua perpustakaan berada di masjid dan
sisanya di madrasah.
“Bahkan di Spanyol Muslim terdapat 70 perpustakaan umum,” ungkap G Le Bon dalam
bukunya berjudul La Civilisation des Arabes. Sejak abad ke-9 M, perpustakaan
telah tersebar luas di kota-kota Islam. Di zaman itu, perpustakaan yang megah
dan besar juga telah hadir di Kairo, Aleppo dan kota-kota besar lainnya di Iran,
Asia Tengah dan Mesopotamia.
Komentar
Posting Komentar