Sudah lama sekali rasanya saya tidak menulis di blog, hingga saat tak sengaja ketika saya mengunjungi situs INSIST, saya menemukan artikel tentang Psikologi Islam. Dan membuat saya teringat akan blog saya yang telah lama tidak saya kunjungi. Hal tersebut membuat saya rindu untuk menulis di blog, namun pada kesempatan kali ini saya akan menshare tulisan buah pemikiran salah seorang cendekiawan INSIST, yaitu Dr. Syamsuddin Arif. berikut adalah tulisan beliau, yang tidak saya gubah sama sekali. semoga bermanfaat, dan insya Allah mulai minggu ini saya akan aktif kembali dalam menshare pengetahuan tentang Psikologi Islam. selamat menikmati. ^_^
Sejarah keilmuan Islam yang gemilang mencatat tiga corak pendekatan
dalam memahami jiwa manusia. Pertama, pendekatan Qur’ani-Nabawi dimana
jiwa manusia dipahami dengan merujuk pada keterangan kitab suci
al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah saw. Perbincangannya berkisar
sifat-sifat universal manusia (syahwat kepada lawan jenis, properti,
uang, fasilitas mewah, takut mati, takut kelaparan, pongah, pelit,
korup, gelisah, mudah frustrasi), sebab maupun akibatnya (lupa kepada
Allah, kurang berzikir, ikut petunjuk syaitan, tenggelam dalam hawa
nafsu, hidup merana dan mati menyesal, di akhirat masuk neraka), dan
beberapa karakter jiwa (nafs): yang selalu menyuruh berbuat jahat
(ammarah bis-su’), yang senantiasa mengecam (al-lawwamah) dan yang
tenang damai (al-mutma’innah). Perspektif ini diwakili oleh tokoh-tokoh
semisal Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 1350). Dalam kitabnya ar-Ruh,
misalnya, diterangkan bagaimana ruh menjalar di tubuh manusia yang
memungkinkannya bergerak, merasa, dan berkehendak. Ruh orang mati itu
wujud dan merasakan siksa di alam kubur sekalipun jasadnya hancur.
Kedua,
pendekatan Falsafi dimana pelbagai masalah jiwa dibahas menurut
pandangan para filsuf Yunani kuno. Mazhab falsafi ini mulai berkembang
pada abad ke-10 Masehi, menyusul penerjemahan karya-karya ilmuwan Yunani
kuno ke dalam bahasa Arab. Para psikolog Muslim pada masa itu banyak
dipengaruhi oleh teori-teori jiwa Plato dan Aristoteles. Tak
mengherankan, sebab Aristoteles mengupas aneka persoalan jiwa manusia
dengan sangat logis dan terperinci. Teori-teorinya tertuang dalam
bukunya De Anima (tentang hakikat jiwa dan aneka ragam kekuatannya) dan
Parva Naturalia (risalah-risalah pendek mengenai persepsi inderawi dan
hubungannya dengan jiwa, daya hapal dan ingatan, hakikat tidur dan
mimpi, firasat dan ramalan). Adapun Plato ialah filsuf yang pertama kali
melontarkan teori tiga aspek jiwa manusia: rasional (berdaya pikir),
animal (hewani), dan vegetatif (berdaya tumbuh).
Hampir semua
filsuf Muslim yang menulis karya tentang jiwa bertolak dari pandangan
Aristoteles. Mulai dari Miskawayh yang menulis kitab Tahdzib al-Akhlaq
dan Abu Bakr ar-Razi pengarang kitab at-Thibb ar-Ruhani hingga Ibnu
Rusyd dan Abu Barakat al-Baghdadi. Menurut mereka, jiwa manusia adalah
penyebab kehidupan. Tanpa jiwa, manusia tak berarti apa-apa. Kecuali
ar-Razi, semua filsuf percaya bahwa jiwa manusia itu tunggal dan
sendiri. Karenanya mereka menolak teori transmigrasi jiwa dari satu
tubuh ke tubuh yang lain, seperti dalam kepercayaan agama tertentu.
Dalam salah satu kitabnya, Ibnu Sina menegaskan pentingnya penyucian
jiwa dengan ibadah seperti shalat dan puasa. Sebab, menurutnya, jiwa
yang bersih akan mampu menangkap sinyal-sinyal dari alam ghaib yang
dipancarkan melalui Akal Suci (al-‘aql al-qudsi). Kemampuan semacam
inilah yang dimiliki oleh para nabi, tambahnya. Jiwa para nabi itu
begitu bersih dan kuat sehingga mereka mampu menerima intuisi, ilham dan
wahyu ilahi (Lihat: kitab an-Nafs, ed. Fazlur Rahman, hlm 248-50 dan
Avicenna’s Psychology, hlm 36-7).
Ketiga ialah pendekatan
Sufistik dimana penjelasan tentang jiwa manusia didasarkan pada
pengalaman spiritual ahli-ahli tasawuf. Dibandingkan dengan psikologi
para filsuf yang terkesan sangat teoritis, apa yang ditawarkan para sufi
lebih praktis dan eksperimental. Termasuk dalam aliran ini kitab
ar-Riyadhah wa Adab an-Nafs karya al-Hakim at-Tirmidzi (w. 898) dimana
beliau terangkan kiat-kiat mendisiplinkan diri dan membentuk kepribadian
luhur. Menurut Abu Thalib al-Makki (w. 996), jiwa manusia sebagaimana
tubuhnya membutuhkan makanan yang baik, bersih, dan bergizi. Jiwa yang
tidak cukup makan pasti lemah dan mudah sakit. Semua itu diterangkan
beliau dalam kitab Qut al-Qulub (‘nutrisi hati’).
Tokoh penting
lainnya ialah Imam al-Ghazali (w. 1111 M) yang menguraikan dengan sangat
memukau aneka penyakit jiwa dan metode penyembuhannya. Penyakit yang
diderita manusia ada dua jenis, ujarnya, fisik dan psikis. Kebanyakan
kita sangat memperhatikan kesehatan tubuh tetapi jarang peduli dengan
kesehatan jiwa. Bagaimana cara mengobati penyakit-penyakit jiwa seperti
egoisme, serakah, phobia, iri hati, depresi, waswas, dsb beliau jelaskan
dalam kitabnya yang berjudul Ihya’ ‘Ulumiddin. (Lihat juga: Amber
Haque, “Psychology from Islamic Perspective: Contributions of Early
Muslim Scholars and Challenges to Contemporary Muslim Psychologists,”
Journal of Religion and Health 43/4 [2004], hlm 357-77).
Di
abad modern, upaya-upaya untuk menyelami lautan ilmu psikologi Islam dan
“menjual mutiara-mutiara”nya brilian masih terkendala oleh beberapa
hal. Selain sikap prejudice terhadap khazanah intelektual Islam di satu
sisi, dan sikap fanatik terhadap psikologi Barat modern yang nota bene
sekular-materialistik di sisi lain, penguasaan bahasa Arab merupakan
conditio sine qua non (syarat mutlak) untuk bisa menjelajahi literatur
psikologi Islam yang sangat kaya namun belum terjamah itu. Psikolog
muslim tinggal memilih mau terus-terusan merujuk Freud, Skinner, Maslow,
Ellis, dsb atau belajar dari para ahli psikologi Islam.
Penulis:
Dr. Syamsuddin Arif
Sumber:
http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=125:psikologi-dalam-islam&catid=20:psikologi-islam&Itemid=18
Blog yang bagus salam kenal
BalasHapus