Langsung ke konten utama

Unggulan

Things in the School

  Things in the School Bag  (Barang-barang yang ada di dalam tas sekolah) pencil = pensil pen = pulpen eraser = penghapus correction pen = tipe-x pencil sharpener = rautan pensil ruler = penggaris cutter = pisau kecil  pencil case = tempat pensil lesson book = buku pelajaran book = buku drawing book = buku gambar color pencil = pensil warna binder = binder scissor = gunting marker = spidol compass = jangka stapler = hekter Things at the Classroom  (Benda-benda yang ada di kelas) desk = meja chair = chair blackboard = papan tulis hitam whiteboard = papan tulis putih eraser = penghapus cupboard = lemari computer = komputer screen = layar untuk proyektor air-conditioner = pendingin ruangan fan = kipas angin bookshelf = rak buku noticeboard = mading map = peta globe = globe ball = bola bell = bel Rooms in the School  (Ruangan yang Ada di Sekolah) canteen = kantin library = perpustakaan teachers room = ruang guru office = ruang kepala sekolah classroom = ruangan kelas laboratory = laborator

Psikologi Dalam Islam

     Sudah lama sekali rasanya saya tidak menulis di blog, hingga saat tak sengaja ketika saya mengunjungi situs INSIST, saya menemukan artikel tentang Psikologi Islam. Dan membuat saya teringat akan blog saya yang telah lama tidak saya kunjungi. Hal tersebut membuat saya rindu untuk menulis di blog, namun pada kesempatan kali ini saya akan menshare tulisan buah pemikiran salah seorang cendekiawan INSIST, yaitu  Dr. Syamsuddin Arif. berikut adalah tulisan beliau, yang tidak saya gubah sama sekali. semoga bermanfaat, dan insya Allah mulai minggu ini saya akan aktif kembali dalam menshare pengetahuan tentang Psikologi Islam. selamat menikmati. ^_^
     
    Sejarah keilmuan Islam yang gemilang mencatat tiga corak pendekatan dalam memahami jiwa manusia. Pertama, pendekatan Qur’ani-Nabawi dimana jiwa manusia dipahami dengan merujuk pada keterangan kitab suci al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah saw. Perbincangannya berkisar sifat-sifat universal manusia (syahwat kepada lawan jenis, properti, uang, fasilitas mewah, takut mati, takut kelaparan, pongah, pelit, korup, gelisah, mudah frustrasi), sebab maupun akibatnya (lupa kepada Allah, kurang berzikir, ikut petunjuk syaitan, tenggelam dalam hawa nafsu, hidup merana dan mati menyesal, di akhirat masuk neraka), dan beberapa karakter jiwa (nafs): yang selalu menyuruh berbuat jahat (ammarah bis-su’), yang senantiasa mengecam (al-lawwamah) dan yang tenang damai (al-mutma’innah). Perspektif ini diwakili oleh tokoh-tokoh semisal Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 1350). Dalam kitabnya ar-Ruh, misalnya, diterangkan bagaimana ruh menjalar di tubuh manusia yang memungkinkannya bergerak, merasa, dan berkehendak. Ruh orang mati itu wujud dan merasakan siksa di alam kubur sekalipun jasadnya hancur.   

    Kedua, pendekatan Falsafi dimana pelbagai masalah jiwa dibahas menurut pandangan para filsuf Yunani kuno. Mazhab falsafi ini mulai berkembang pada abad ke-10 Masehi, menyusul penerjemahan karya-karya ilmuwan Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Para psikolog Muslim pada masa itu banyak dipengaruhi oleh teori-teori jiwa Plato dan Aristoteles. Tak mengherankan, sebab Aristoteles mengupas aneka persoalan jiwa manusia dengan sangat logis dan terperinci. Teori-teorinya tertuang dalam bukunya De Anima (tentang hakikat jiwa dan aneka ragam kekuatannya) dan Parva Naturalia (risalah-risalah pendek mengenai persepsi inderawi dan hubungannya dengan jiwa, daya hapal dan ingatan, hakikat tidur dan mimpi, firasat dan ramalan). Adapun Plato ialah filsuf yang pertama kali melontarkan teori tiga aspek jiwa manusia: rasional (berdaya pikir), animal (hewani), dan vegetatif (berdaya tumbuh).  

     Hampir semua filsuf Muslim yang menulis karya tentang jiwa bertolak dari pandangan Aristoteles. Mulai dari Miskawayh yang menulis kitab Tahdzib al-Akhlaq dan Abu Bakr ar-Razi pengarang kitab at-Thibb ar-Ruhani hingga Ibnu Rusyd dan Abu Barakat al-Baghdadi. Menurut mereka, jiwa manusia adalah penyebab kehidupan. Tanpa jiwa, manusia tak berarti apa-apa. Kecuali ar-Razi, semua filsuf percaya bahwa jiwa manusia itu tunggal dan sendiri. Karenanya mereka menolak teori transmigrasi jiwa dari satu tubuh ke tubuh yang lain, seperti dalam kepercayaan agama tertentu. Dalam salah satu kitabnya, Ibnu Sina menegaskan pentingnya penyucian jiwa dengan ibadah seperti shalat dan puasa. Sebab, menurutnya, jiwa yang bersih akan mampu menangkap sinyal-sinyal dari alam ghaib yang dipancarkan melalui Akal Suci (al-‘aql al-qudsi). Kemampuan semacam inilah yang dimiliki oleh para nabi, tambahnya. Jiwa para nabi itu begitu bersih dan kuat sehingga mereka mampu menerima intuisi, ilham dan wahyu ilahi (Lihat: kitab an-Nafs, ed. Fazlur Rahman, hlm 248-50 dan Avicenna’s Psychology, hlm 36-7).   

    Ketiga ialah pendekatan Sufistik dimana penjelasan tentang jiwa manusia didasarkan pada pengalaman spiritual ahli-ahli tasawuf. Dibandingkan dengan psikologi para filsuf yang terkesan sangat teoritis, apa yang ditawarkan para sufi lebih praktis dan eksperimental. Termasuk dalam aliran ini kitab ar-Riyadhah wa Adab an-Nafs karya al-Hakim at-Tirmidzi (w. 898) dimana beliau terangkan kiat-kiat mendisiplinkan diri dan membentuk kepribadian luhur. Menurut Abu Thalib al-Makki (w. 996), jiwa manusia sebagaimana tubuhnya membutuhkan makanan yang baik, bersih, dan bergizi. Jiwa yang tidak cukup makan pasti lemah dan mudah sakit. Semua itu diterangkan beliau dalam kitab Qut al-Qulub (‘nutrisi hati’).

    Tokoh penting lainnya ialah Imam al-Ghazali (w. 1111 M) yang menguraikan dengan sangat memukau aneka penyakit jiwa dan metode penyembuhannya. Penyakit yang diderita manusia ada dua jenis, ujarnya, fisik dan psikis. Kebanyakan kita sangat memperhatikan kesehatan tubuh tetapi jarang peduli dengan kesehatan jiwa. Bagaimana cara mengobati penyakit-penyakit jiwa seperti egoisme, serakah, phobia, iri hati, depresi, waswas, dsb beliau jelaskan dalam kitabnya yang berjudul Ihya’ ‘Ulumiddin. (Lihat juga: Amber Haque, “Psychology from Islamic Perspective: Contributions of Early Muslim Scholars and Challenges to Contemporary Muslim Psychologists,” Journal of Religion and Health 43/4 [2004], hlm 357-77).   

   Di abad modern, upaya-upaya untuk menyelami lautan ilmu psikologi Islam dan “menjual mutiara-mutiara”nya brilian masih terkendala oleh beberapa hal. Selain sikap prejudice terhadap khazanah intelektual Islam di satu sisi, dan sikap fanatik terhadap psikologi Barat modern yang nota bene sekular-materialistik di sisi lain, penguasaan bahasa Arab merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak) untuk bisa menjelajahi literatur psikologi Islam yang sangat kaya namun belum terjamah itu. Psikolog muslim tinggal memilih mau terus-terusan merujuk Freud, Skinner, Maslow, Ellis, dsb atau belajar dari para ahli psikologi Islam.

Penulis: Dr. Syamsuddin Arif
Sumber:
http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=125:psikologi-dalam-islam&catid=20:psikologi-islam&Itemid=18 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer